Transformasi Struktur Persekonomian yang menggeser komposisi pondasi perekonomian Indonesia2, yang telah terjadi, tidak berdiri sendiri karena diiringi dengan proses perubahan demografi, menurut istilah Chenery dan Syrquin (Chenery and Syrquin, 1975, Pattern of Development, 1950—1970. Oxford University Press) di mana proses pembangunan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditandai dengan terjadinya perubahan atau pergeseran pada struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa yang diproduksi, tetapi juga ditandai dengan terjadinya transformasi struktur Demografi (Kepedudukan) dan Labour (Ketenagakerjaan). Proses demografi ini terutama terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur permintaan, struktur produksi dan perbaikan fasilitas kesehatan, gizi serta pendidikan yang timbul seiring dengan pertumbuhan pendapatan per kapita (Susanti, dkk, 2005).
Secara demografi (kependudukan) dan labour (ketenagakerjaan) terlihat dengan jelas bahwa menurunnya kontribusi sektor pertanian selama 35 tahun terakhir juga diiringi dengan transformasi demografis (kependudukan) dan labour (ketenagakerjaan), dimana jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian menurun drastis dari mayoritas 53% ditahun 1985 menjadi tinggal 32% pada tahun 2015. Dan tenaga kerja yang semula bekerja di sektor Pertanian kemudian berpindah ke sektor ekonomi yang lain. Sektor Industri Pengolahan semula pada 1985 menyerap komposisi tenaga kerja 9% kemudian meningkat menjadi 15% pada 2015. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang semula menyerap tenaga kerja 15% kemudian meningkat menjadi 22%. Sektor Jasa yang semula menyerap tenaga kerja 15% kemudian meningkat sehingga menyerap tenaga kerja 17%.
Pergeseran dan transformasi struktur Labour (Ketenagakerjaan) secara langsung mencerminkan terjadinya transformasi struktur Demografi (Kependudukan) di Indonesia selama 35 tahun terakhir, dimana para pekerja sektor pertanian yang semula 53% pada tahun 1985 bekerja di wilayah pedesaan, maka pada tahun 2015 hanya 32% yang bekerja di wilayah pedesaan, ada pergerakan tenaga kerja dari desa ke kota, terjadi migrasi pekerja sebesar 21% selama 35 tahun terakhir. Lapangan pekerjaan di kota menjadi lebih menjanjikan dan besar potensinya daripada lapangan pekerjaan di pedesaan, terjadi urbanisasi yang semakin besar dari tahun-ketahun, pedesaan ditinggalkan para penduduk dan pemudanya.
Migrasi sebesar 21% pekerja dari pedesaan ke perkotaan akan menuntut terpenuhinya fasilitas infrastruktur kesehatan, pendidikan, perumahan, pasar tempat transaksi barang dan jasa, serta fasilitas pendukung lainnya. Fasilitas infrastruktur demikian tentu memerlukan lahan dan tanah yang sangat luas, apabila kebutuhan lahan dan tanah tidak dapat dipenuhi dari dalam wilayah perkotaan, tentu saja akan merambah lahan dan tanah di daerah pedesaan disekitar wilayah perkotaan, yang pada gilirannya akan melahirkan proses alih fungsi lahan secara besar-besarnya dan pada jangka panjang akan mempengaruhi perubahan Tata Ruang Wilayah. Artinya ada proses legitimasi terhadap berkurangnya luas lahan pertanian secara konsisten. Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selama puluan tahun, salah satunya juga merupakan akibat langsung dari terjadinya proses transfomasi Demografi (Kependudukan) dan Labour (Ketenagakerjaan), serta diakibatkan juga oleh semakin meningkatnya kontribusi sektor non pertanian terhadap PDB.
Indonesia sebagai negara yang secara alamiah disebut negara agraris karena kesuburan tanahnya yang Gemah Ripah Loh Jinawi, yang mampu memakmurkan negeri dalam ratusan tahun kurun pemerintahan berbagai kekuasaan, mulai jaman Mataram Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit, Mataram Islam, kemudian bahkan kemakmurannya bisa ikut memakmurkan Kerajaan Belanda setelah mereka mengambil alih melalui penjajahan, pengeloaan pertanian di Indonesia. Telah terbukti dalam sejarah bahwa sektor Pertanian sebagai pondasi utama ekonomi sanggup memakmurkan negeri, bahkan mensejahterakan penduduknya, Toto Tentrem Kerto Raharjo. Namun transformasi struktur Perekonomian yang diiringi dengan transformasi struktur Demografi (Kependudukan) dan Labour (Ketenagakerjaan) yang terjadi juga menggambarkan kegamangan dan keraguan anak negeri berdiri kokoh diatas pondasi alaminya dalam sektor Pertanian yang telah memberikan kemakmuran selama berabad. Apalah jadinya sebuah negeri dengan dengan penduduk ratusan juta jiwa yang tidak mampu menegakkan Ketahanan dan Kemandirian Pangan bagi rakyatnya? Bila demikian, maka yang terjadi adalah ketidakstabilan harga pangan secara kontinyu karena bisa terjadi inflasi tinggi harga pangan dan kelangkaan (Shortage) bahan pangan.
Keyakinan pemerintah Belanda selama penjajahan untuk fokus melakukan eksploitasi sektor pertanian di Indonesia dapat dilihat dari semua planologi tatakota di semua kota yang dibangun masa pemerintah penjajahan Belanda yang bercirikan Agropolitan bukan Metropolitan, seperti: Garut, Sukabumi, Ciamis, Temanggung, Puworejo, Blitar, Tulungagung, Jember, dan lain-lain, selain kota-kota yang dikhususkan untuk pertahanan militer seperti Bandung, Magelang, dan Malang. Anehnya sekarang sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia seperti terobsesi bermimpi menjadikan daerahnya seperti kota metropolitan sebagai persepsi daerah maju dan modern yang ditandai dengan banyaknya tempat hiburan, Hotel, dan Pasar Modern (WTC-ITC), serta Mall perbelanjaan. Sedangkan kenyataannya gemerlap perkotaan metropolitan sekalipun ternyata belum cukup mampu menyerap tenaga kerja yang semula bekerja di sektor pertanian dari pedesaarn yang melakukan migrasi dan menjadi penduduk urban perkotaan untuk bekerja di sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, serta sektor Jasa. Dengan demikian transformasi struktur Perkonomian yang diikuti dengan transformasi Struktur Demografi (Kependudukan) dan Labour (Ketenagakerjaan) masih menyisakan pula masalah laten pengangguran dan kemiskinan
(Jakarta, 26 Pebruari 2017, Bidang Ekuintek-LH, DPP PKS).
Posting Komentar