0
Santoso Budi Susetyo S,Sos. Ketua DPD PKS Kab. Blora

Oleh : SBS
Hampir semua menarik, apa yang disampaikan ustadz Salim A Fillah saat menjadi pembicara pada acara Halal Bi Halal DPW PKS Jawa Tengah yang dilaksanakan secara virtual. Namun, ada yang menggelitik saat Ustadz Salim menyampaikan tentang alasan pilihan politik salah satu jamaahnya yang bagi beliau dan mungkin kebanyakan kita merupakan hal yang tidak rasional. Konon yang dipilih adalah calon yang selama kampanye tidak lebih “berbobot” daripada dua paslon lain yang kaya ide, konsep serta gagasan .
Mencari suara dalam pemilu merupakan kerja politik yang tidak mudah dan sederhana. Terutama yang bukan di perkotaan. Di daerah terutama di perdesaan tidak ada rumus jitu yang menjamin kandidat memenangkan kompetisi elektoral. Terlalu banyak konsideran yang menjadi motivasi pemilih dalam menjatuhkan pilihan. Kenyataannya keterkenalan tidak berbanding lurus dengan keterpilihan. Yang memiliki jaringan kuat dan luas pun belum tentu bisa dijadikan andalan. Yang sudah banyak labuh labet dan mengabdi di masyarakat tidak otomatis menjadi pilihan unggul dan hebat. Yang pintar dan punya visi juga bukan jaminan akan mendapat dukungan. Yang menggunakan aji pamungkas money politik pun tidak mesti menang dalam kontestasi.
Yang terjadi, akurasi hasil survey yang sudah dirilis menjadi lemah saat melihat hasil perhelatan, karena bisa jadi pergumulan alasan sedemikian hebat sehingga pergeseran pilihan terjadi dalam waktu singkat dan tidak mudah diperkirakan.
Faktanya, hal –hal yang terasa tidak rasional menjadi alasan dalam memberikan sebuah pilihan. Seperti yang diceritakan Ustadz Salim di atas ternyata alasan yang disampaikan sangat sederhana yaitu menjatuhkan pilihan atas dasar kasihan karena paslon yang dipilihnya incumbent yang baru menjabat satu periode. Ditambah dengan pembenaran bahwa pak SBY saja bisa dua kali jadi presiden. Ada yang lebih naif lagi, seorang calon kepala desa yang sudah dua kali menjabat, baik juga berprestasi, kalah dalam pilkades. Saat ditanya mengapa warga memilih calon yang baru ternyata alasannya adalah pokoknya supaya gantian.
Pada masyarakat jawa ada hal-hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan dalam memilih kandidat. Karena menjunjung tatakrama, menjaga unggah-ungguh maka perangai dan pembawaan calon akan menjadi hal yang akan diperhitungkan. Masyarakat jawa suka dengan orang yang ramah, semanak, halus, sopan dan andap asor. Minimal dalam penampakan harus bisa menunjukkan perilaku yang demikian. Kebalikannya, misalnya meskipun maksud kita baik bahkan niatnya ingin membela kepentingan mereka tetapi cara kita kasar dan merendahkan orang lain, maka kesan yang akan ditangkap adalah kemaki atau kemlete. Orang Jawa tidak mudah menerima sifat seperti ini.
Tentunya adat, budaya dan kecenderungan karakter akan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Mencari dukungan politik adalah tentang bagaimana pada saat diawal bisa diterima secara personal. Kemampuan melihat dan membaca adat, budaya juga kearifan lokal inilah yang dibutuhkan untuk dapat membangun komunikasi dengan calon pemilih atau dalam terminologi elektoral disebut dengan kampanye.
Seorang kandidat dituntut mengerti dan faham kondisi masyarakat. Lemahnya kefahaman lapangan akan berakibat tidak terampil dalam membawa diri. Hal ini akan menjadi sandungan dalam aksi politik selanjutnya. Yang parah jika menuntut masyarakat harus memahami dirinya padahal seharusnya sebaliknya. Mengukur kecenderungan masyarakat dengan ukuran dirinya adalah sebuah kesalahan. Kampanye memang harus membumi yakni dengan menggunakan bahasa masyarakat. Seperti dalam kiasan penari harus bisa mengikuti suara gendang.
Faktanya mayoritas masyarakat kita belum rasional dalam politik, bisa jadi bagi golongan politik tertentu, ini menjadi tantangan yang tidak ringan untuk menjawabnya. Apalagi saat ini banyak orang apatis dan tidak percaya terhadap politik dengan seluruh instrument serta proses di dalamnya.
Kepercayaan masyarakat terhadap politik bisa dikembalikan dengan cara institusi maupun pelaku politik mendampingi, membela serta memberi solusi terhadap berbagai persoalan yang ada pada masyarakat juga selanjutnya pendidikan politik menjadi tradisi dalam partai politik. Sehingga akan terwujud bahwa kampanye politik adalah adu gagasan bukan hanya pencitraan.

Posting Komentar

 
Top