Tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berhenti. Prediksi yang sempat menenangkan hati sepertinya belum terbukti. Sampai hari ini jumlah yang terpapar masih meninggi.
Banyak aksi dan perubahan kebiasaan telah dilakukan demi menghambat dan menghalau penyebaran. Sumber daya serta energi telah dikuras dan dikeluarkan. Dampaknya, berbagai persoalan bermunculan.
Kita dihadapkan pilihan yang tidak mudah. Jika bertahan dan mengikuti pada kondisi tidak normal ada krisis yang mengancam sedangkan jika nekat berjalan tanpa menghiraukan aturan kesehatan maka berhadapan ancaman penularan.
New Normal atau kenormalan baru adalah opsi yang diambil pemerintah untuk menyikapi keterpurukan yang terjadi. Sektor vital dalam kehidupan didorong agar pulih dan berjalan dengan melaksanakan protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Pelaksanaannya tidak bisa disamaratakan antara wilayah satu dengan lainnya.
Sejak wacana ini digulirkan secara umum sebagian besar masyarakat setuju, terutama yang selama ini beban ekonomi terasa berat membelenggu. Suara penolakan bukan tidak ada, tetapi gaungnya tidak menggema.
Lain halnya dalam bidang pendidikan. Arus penolakan agar siswa mulai masuk sekolah cukup besar. Beberapa polling atau survey pada lintas kalangan menunjukkan mayoritas keberatan jika sekolah segera dibuka untuk pembelajaran secara tatap muka meskipun dengan diterapkan Normal Baru.
Pertimbangan cukup mendasar adalah tidak ada jaminan bahwa anak sekolah bisa disiplin dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Kesiapan sekolah yang harus menyediakan fasilitas pendukung juga masih diragukan. Sepertinya dibutuhkan energi ekstra untuk menjamin sekolah cukup aman dan mampu menghadang penyebaran virus ini.
Dibeberapa negara, setelah sekolah dibuka beberapa hari ada yang terinfeksi. Kabarnya di Korea Selatan terpaksa banyak sekolah ditutup kembali . Hal ini menambah kekhawatiran. Jika dipaksakan ibarat melakukan sesuatu atas dasar spekulasi.
Sebenarnya, siapapun resah dengan kondisi anak belajar di rumah. Konon dalam sebuah penelitian pembelajaran daring capaiannya cukup rendah. Bukan hal mudah untuk mencukupi kebutuhan pendidikan seperti yang didapat ketika belajar di sekolah. Asupan pendidikan akan lebih maksimal di sekolah, yang memang sudah dilengkapi dengan SDM, sarpras dan kurikulum. Bisa jadi waktu produktif bagi siswa saat berada di rumah juga sangat sedikit. Belum lagi menahan mereka untuk stay at home bukan sesuatu yang mudah. Kenyataan ini yang menjadi alasan bagi sebagian orang tua dan kalangan agar anak masuk sekolah.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan jika memang harus masuk sekolah pada saat pandemi masih menjadi ancaman. Diantaranya, agar bisa jaga jarak saat pembelajaran, anak masuk sekolah tidak serempak yaitu dengan cara bergantian shift pagi dan siang atau separuh masuk separuh libur. Jam belajar dibuat lebih pendek. Seiring dengan hal ini sekolah harus menyiapkan fasilitas untuk mendukung protokol kesehatan diantaranya tempat cuci tangan, hand sanitizer dan masker. Jika mengacu seperti ini tampaknya bukan hal yang sederhana serta tidak boleh disepelekan.
Kantin sekolah juga harus ditutup untuk menghindari kerumunan. Jadi, orang tua mendapat tugas tambahan karena bekal makan anak harus disiapkan.
Semoga wabah segera berlalu. Aamiin
daftar dna mainkan pkv games disitus kami untuk hasilkan uang hingga jutaan rupiah. 180.215.200.34
BalasHapus